Sebelum membahas lebih jauh tentang beasiswa, pendidikan master, dan urusan-urusan birokrasi lainnya, perlu satu postingan khusus yang membahas pentingnya inner flame di dalam dada. Mengapa judul ini dibuat satu postingan sendiri? Karena tanpa api yang menyala di dalam diri kita, langkah selanjutnya akan terasa berat. Apalagi kalau cuma didekte oleh orang lain. Bahaya banget.
Membaca berbagai postingan tentang beasiswa, menonton berbagai vlog tentang tips-tips mendapatkan beasiswa atau sekolah di luar negeri, mengikuti berbagai macam edu-fair dan bahkan konsultasi ke berbagai agen, tidak akan membantu banyak dalam perjalanan panjang ke depan, jika api utama-api di dalam dada, tidak menyala.
Aku yakin setiap orang yang "hijrah" dari satu kondisi ke kondisi lain, berangkat dari hal yang tidak mengenakkan, hal berat, tekanan, atau mungkin kegelisahannya akan present life nya. Ya mungkin ada juga yang memang "hijrah" karena "pengen ajaaa". Tapi "pengen aja" pun pasti ada motivasi motivasi kuat di dalam dirinya. Mungkin karena ingin memperbaiki diri, mungkin karena keinginan kuat untuk menuruti orang tua dan membanggakan orang tua (dalam hal ini, consent anak adalah penting, kalau hanya karena paksaan, aku yakin api itu akhirnya bisa redup juga), atau motivasi besar lainnya.
Nah, bagi mereka, oh sorry, maksudnya aku, yang "hijrah"nya karena gelisah karena satu dua tiga empat lima hal, melanjutkan sekolah adalah sebuah solusi, yang pada saat itu, kurasa dapat menjawab kegelisahanku dan menenangkanku.
Marilah kita sebut bahwa kegelisahan itu menyalakan api yang sudah kupadamkan secara perlahan di tahun 2018 itu. Kegelisahan itu menyalakan api dan bahkan menjadi api itu sendiri. Menyala dalam dadaku sampai aku merasa kedinginan jika tidak bergerak untuk menjaganya menyala.
Yang aku ingat, akhir tahun 2022 adalah akhir tahun yang sulit. Sesuatu yang begitu menekan dadaku, membuatku ingin mencari hal baru dan membuatku ingin melanjutkan petualangan. Lama kutimbang-timbang, apakah aku benar-benar ingin sekolah lagi, apakah ini hanya keinginan sesaat. Aku hanya pegawai biasa di sebuah kecamatan kecil di pelosok Mojokerto, apakah aku bisa melalui banyak tahapan beasiswa. Apakah aku siap dengan tanggung jawab yang lebih besar untuk kutanggung jika aku sekolah lagi. Bagaimana aku tetap bisa merawat ibuku dari jarak jauh jika nanti diterima.
BUT, itu pikiran yang kejauhan, waktu itu. Jadi hal pertama yang ingat kukatakan pada diriku sendiri adalah lakukan semua perlahan dan satu per satu. LIVE IN THE PRESENT. Pikirkan, kerjakan dan usahakan maksimal di momen dimana proses itu dilakukan. Contohnya, ketika sedang fokus menyiapkan IELTS, fokus pada persiapan IELTS, jangan lompat memikirkan nanti kalau jadi ke Australia naik maskapai apa, atau bagaimana nanti mengurus tugas belajarnya, dan atau atau yang lain. Sehingga hal kedua yang kulakukan waktu itu adalah MEMBUAT ACTION PLAN TIMELINE. Apa saja yang harus dilakukan, urut dari mulai mencari informasi mengenai perizinan tugas belajar di satuan kerja hingga pendaftaran kampus dan beasiswa.
Ada empat hal yang aku siapkan sebagai bagian dari Action Plan-ku. Pertama: BIROKRASI. Sebagai PNS, aku berada di bawah payung organisasi dan birokrasi yang rumit memang, tapi itu sebuah keharusan dan kewajiban. Jadi sejak awal aku sudah menyiapkan hati, kalau aku bisa mengikuti seleksi beasiswa dan diizinkan untuk tugas belajar, maka rencana akan berjalan sesuai timeline. Tapi, jika tidak, atasan no aturan juga no, maka berhenti di situ. Kita kembali ke 2018 dimana semua mimpi kita timbun dalam-dalam.
Kedua adalah IELTS. Bahasa inggrisku ga bagus-bagus amat. Apalagi writing dan speaking. Hancur lebur. IELTS adalah sebuah kunci untuk memasuki banyak kesempatan-kesempatan besar untuk Go International. Maka Action Plan ke-2 adalah menyiapkan IELTS, dalam hal ini les/belajar, menyiapkan biaya ujiannya yang mahal bingitz (kenapa sih mahal banget heraaaan), dan menyiapkan ujiannya.
Selanjutnya, Action Plan ke-3 adalah memilih universitas tujuan. Termasuk di dalamnya memilih program studi, universitas, dan negara. Bagian ini cukup sulit dan tricky karena aku punya beberapa "persyaratan pribadi" yang ingin kupatuhi. Di antaranya adalah yang berbahasa inggris, pertaniannya bagus, dan negaranya tidak konflik.
Terakhir, adalah mempelajari beasiswa. Waktu itu aku mempelajari LPDP dan AAS. Bagian ini sebenarnya bisa dipadu padankan dengan item pertama. Karena tugas belajar bagaimanapun akan bertanya tentang pendanaan. Sehingga, pada akhirnya empat hal ini selang seling mempelajarinya. Meskipun mereka tumpang tindih secara timeline, membuat rincian action plan sangat membantu untuk mempermudah langkah sehingga tidak ada yang terlewat.
Nah, printilan-printilan lainnya seperti duit buat tes IELTS, trus ngurus ini itu apakah disiapkan juga? OF COURSE. Tes IELTS itu ga murah ya kawan (ya kaaan???!!). Jadi kalau bisa ya sekali tes langsung sesuai hasil yang diinginkan DAN DIBUTUHKAN.
Dengan menyalakan api di dalam dada, dipadukan dengan prinsip Live In The Present dan timeline di atas, rasanya setiap langkah menjadi lebih tenang. Sering banget pas awal-awal minta izin, ngurus birokrasi dan surat-surat, belum-belum udah banyak banget suara "Mbak mau pindah ke dinas lain ya makanya S2", "Wah nanti gimana Trawas makin berkurang orangnya", "Nanti ibuk sendirian dong?", "Weh nanti dapat suami bule Australia", "Jelas Mbak sampean nanti ditarik ke Dinas lain, ga mungkin bakal balik ke Trawas" dan lain-lain.
YA ALLAH YA RABBI.
Aku bahkan belum tes IELTS dan daftar beasiswanya.
Rasanya sedikit frustasi lebih ke heran. Ya Allah wong-wong iki, baru juga melangkah satu langkah. Dan itu ga berhenti saat itu juga. Karena tahapan LPDP yang sangat banyak itu, bahkan lagi nunggu hasil seleksi administrasi pun, beberapa orang masih berseru, "Mbak sampean jelas bakal ditarik ke Dinas lain, ga mungkin tetep di dinas ini".
Aku cuma ketawa aja waktu itu. Kalau aku lagi dalam posisi down, kalimat-kalimat kaya gitu sangat mengganggu konsentrasiku. Tapi alhamdulillah bisa dilalui dengan baik.
Kalian tau ga kenapa aku ga terlalu terganggu sama omongan-omongan itu. Karena tadi, aku sejak awal sudah bilang ke diri sendiri, "Trini, kita jalani pelan-pelan, satu per satu, live in the present. Apa yang sedang kita hadapi saat ini, in the mean time, kita fokus di situ. Satu per satu. Sekarang waktunya seleksi administrasi, kita fokuskan di sana, jangan kita buyar mikirkan nanti berangkat kapan, gimana nanti ibu dan rumah dll. Fokus."
Dalam perjalanan dan petualangan hidup, pasti akan banyak godaan, rintangan, rasa sakit, lelah, dan rasa putus asa. Tapi ketika kita menjadi sahabat bagi diri sendiri, menjadi supporter utama dari diri sendiri. Aku yakin, kita tidak terkalahkan oleh keadaan dan lingkungan sekitar.
Api di dalam dada, akan terus menyala. Walau kadang redup, kadang benderang. Kadang begitu kecil bahkan lebih kecil dari nyala sebatang korek api, kadang begitu besar hingga bisa menerangi seluruh belantara. Semuanya adalah proses naik turun dalam petualangan. Tapi api itu tidak pernah padam.