Aku mau cerita..
Dulu aku S1 dengan beasiswa dari Kementerian Agama RI. Yaitu beasiswa PBSB dimana salah satu klausa beasiswanya adalah kita harus kembali ke ponpes asal untuk melakukan pengabdian setelah lulus dari universitas. Atau, setidaknya, melakukan pengabdian ke masyarakat selama 3 tahun. Setelah lulus, aku memang kembali ke pondok. Seperti sebuah kesempatan kedua untuk memperbaiki diri sendiri pada saat mondok SMA dulu banyak kekurangan dalam belajar. Tapi saat itu, aku kembali tidak hanya sebagai santri, tapi juga menjadi pembina asrama dan berkegiatan di sekolah, sebagai pembina ekskul pecinta alam dan pengelola Green House.
Sebagai seorang fresh graduate yang punya kewajiban pengabdian tapi juga pengen segera punya duit sendiri, yang aku ingat pada saat itu, sejujurnya aku gelisah bukan main. Aku merasa harus kembali ke pondok, tapi semua mata tertuju padaku agar segera punya uang (terutama keluarga besar, you know right?), pekerjaan yang menjanjikan, segera "membantu keluarga" dan menjadi mandiri. Hampir semua teman-temanku sudah di jalannya masing-masing; kerja di perusahaan besar, S2 di luar negeri dan di dalam negeri, bahkan ada juga yang merintis usahanya juga. Sementara aku, ada di sekolah dan di asrama menjadi pembina. Saat itu, banyak sekali momen dimana aku membandingkan diriku sendiri dengan banyak teman-temanku. Buka tutup akun instagram karena wow, semua orang terlihat sukses di sana. Aku semakin menciut. Padahal sebagian diriku juga paham, aku sudah di jalur yang benar; aku melakukan kewajibanku ngabdi, dan alhamdulillah, masih ada sedikit pemasukan untuk pekerjaan yang bisa dibilang, bukan pekerjaan profesional.
Melanjutkan sekolah ke jenjang master adalah cita-citaku sejak kecil. Aku terus menjaga api itu menyala di dalam dadaku. Apalagi setelah lulus, banyak juga teman yang melanjutkan kuliahnya di luar negeri dengan beasiswa dari luar negeri, juga dari LPDP (waktu itu LPDP baru-baru baru banget dibuka, kurang lebih 3-4 tahunan, dan ga semasif sekarang). Aku datang ke acara-acara pameran pendidikan, mengikuti semacam bazaar, dan juga rajin membaca mengenai S2 di luar negeri. Aku sadar, bahasa inggris adalah kunci utama kalau ingin lanjut sekolah ke luar negeri. Alhasil, tahun tahun pengabdian itu, aku sempatkan juga untuk mengasah skill bahasa inggris dengan les TOEFL di Kampung Inggris, Pare. Waktu itu, LPDP Luar Negeri masih menerima TOEFL ITP sebagai syarat administrasi kemampuan bahasa inggris. Plus ditambah aku sebagai alumni beasiswa Kemenag RI dan posisi setelah lulus masih menjadi santri di ponpes, aku bisa mengikuti LPDP LN jalur santri dengan skor TOEFL ITP untuk syarat LPDP LN jalur santri hanya 500.
Selama kurang lebih sebulan, aku "ngalahi" diriku buat pergi pulang Jombang-Pare untuk les. Karena aku ga mungkin stay juga karena punya kewajiban mengabdi, jadi aku memilih les paket jam 7-10 pagi, sehingga aku masih punya waktu untuk stay di sekolah setengah hari dan sisa harinya untuk stay di asrama (sekolahan tempat aku jadi pembina adalah full day school, dari jam 7 - 16). Aku ikuti kelas dengan sungguh-sungguh demi mengejar ketertinggalan di kemampuan bahasa inggrisku. Setelah les selesai, aku beranikan diri untuk ikut tes TOEFL ITP di Pusba UNAIR dengan harga waktu itu masih 450rb. Singkat cerita, hasinya cuma 497. Kurang 1 soal benar aja. Nyesek ga? Nyesek dikit hahah waktu itu juga udah minggu-minggu terakhir LPDP jadi udah ga mungkin bisa perbaiki lagi. Sebenarnya bisa aja waktu itu ikut yang dalam negeri karena jalur santri cuma minta 450, tapi aku masih pengen menjaga nyala api lanjut S2 di luar negeri itu, di dalam dadaku. Jadi waktu itu, kita tunda dulu daftar LPDPnya dan fokus pengabdian.
Tahun 2017, waktu itu aku pengabdian sambil kerja juga di tempat lain. Seminggu kubagi dua, 4 hari pengabdian, 3 hari mengajar kehutanan di sebuah SMK dekat rumah. Kerja sebagai guru, waktu itu, adalah tawaran yang kuterima setelah TOEFL ITPku cuma 497, dan waktu itu aku juga gak lolos SKD di seleksi CPNS tahun 2017. Pikiran duniawiku meronta: "AKU HARUS SEGERA PUNYA PEKERJAAN". Well, aku ngga mau membohongi diri sendiri. Tawaran sebagai guru di sekolah swasta itu, adalah satu satunya yang bisa kulakukan sambil pengabdian, dan itu bisa kumasukkan ke dalam CV ku sehingga at least, aku punya pekerjaan profesional. Sejujurnya ternyata seru juga ngajar, apalagi ilmu kehutanan masih dekat-dekat dengan ilmu pertanian. Jadi, waktu itu aku juga enjoy dengan pergi-pulang Mojokerto-Jombang seminggu 2x itu. Capek? Hmm waktu itu kok engga ya. Kalau sekarang dibayangkan yaaaaaa, capek bangeeet hahaha
Mendekati batch LPDP selanjutnya, atau setahun setelahnya, aku coba lagi, kali ini sambil melengkapi semua syarat administrasinya terlebih dahulu, seperti misal, yang paling penting, rekomendasi dari pengasuh pondok pesantren. Surat sakti itu sudah terpegang dan aku fokus untuk tes TOEFL lagi. Waktu itu yang terkejar adalah batch 2 di bulan Desember. Sek, aku kok aneh, LPDP waktu itu kenapa ada di bulan Desember ya? Nanti kita cek haha. Jadi karena akhir tahun, load TOEFL ITP tinggi banget plus kerjaannya juga banyak, jadi dari awal udah dipeseni si mbak admin, sangat mungkin hasilnya akan keluar telat dan sertifikatnya juga akan sampai telat ke tangan kita. Aku udah menyiapkan semua aplikasi. Dalam bahasa indonesia dan inggris. Waktu itu, aku mau sekolah pokoknya, LN atau DN ga masalah. Pokoknya aku pengen sekolah lagi. Kalau TOEFL ITP keduaku ga kuterima tepat waktu dan hasilnya di bawah 500, aku akan daftar di UGM dengan skor TOEFL ITP 497, kalau skornya bagus dan on time, aku akan daftar di kampus LN tujuanku.
Aku ingat betul ya hari itu, jadi aku taroh di cerita ini. Dengerin. Wkwkw
Waktu itu, tanggal 31 Desember. Peluang hasil TOEFL untuk sampai di tanganku pada hari itu juga sangat kecil setelah aku coba telpon admin Pusat Bahasa UNAIR dan dia bilang kalau sertifikat masih di Jakarta. Jam 10 pagi, akhirnya aku submit LPDPnya pake TOEFL 497 untuk daftar beasiswa santri di UGM. Setelah submit, karena aku ga yakin dengan mbak mbak admin itu, aku calling mbakku yang kerja di Surabaya dan dia mau bantu ngecek ke Pusba UNAIR dan langsung pulang ke rumah. Kalian tau, posisi saat itu aku lagi di jalan dan aku menepi di pinggir sawah saat melihat pesan dari mbakku. Dia ngirim foto sertifikat TOEFL yang katanya ada di Jakarta tadi, dan skornya berapa tebak? 533. Itu cukup banget buat LPDP LN jalur santri. Akh!
Hening
Seingatku, saat itu juga aku telpon orang Pusba UNAIR (mbakku dah muleh waktu itu), dan bilang ke mereka, kenapa bilang kalau sertifikatnya masih di Jakarta, padahal udah di Surabaya. Aku baru aja submit aplikasi beasiswa pake TOEFL yang lama. Dan itu nyesek banget mbaaa, kataku waktu itu. Dia cuma minta maaf, dan aku balas balik, iya gapapa, aku cuma curhat karena nyesek. Mungkin bagian admin belum follow up berkas-berkas yang sudah tiba di Surabaya, pun aku yakin skenarionya memang seunik itu dari Allah Yang Maha Cinta. Setelahnya aku diam di atas motorku cukup lama, memandang tanaman padi yang bergoyang disapu angin.
Selesai di situ.
Hehe
Pada saat itu, tahun 2018, aku juga mendaftar CPNS (percobaan kedua) sebagai Penyuluh Pertanian di Kabupaten Mojokerto, omahku dewe alias my hometown. Kalau ga salah, waktu itu Januari 2019, ada dua pengumuman. Satu, LPDPnya ga lolos administrasi (bertahun-tahun kemudian ada yang tertawa heran saat aku bilang ga lolos administrasi, karena biasanya pelamar LPDP itu ga lolos di skolastik atau wawancara, bukan administrasi. AKU KAN JUGA GA NGERTI KENAPA GA LOLOS AKH!), kedua, AKU KETRIMA CPNS.
Hmm
Cukup menarik
Akhirnya, tahun-tahun berselang, aku memilih memadamkan api S2 ku itu, dan fokus menjadi "abdi negara". Kumatikan cita-citaku untuk S2, di luar negeri apalagi, dan kupilih jalan "jadi pegawai biasa-biasa saja". Di tahun itu, aku izin untuk menyelesaikan pengabdianku di Jombang dan Bunyaiku mengizinkan. Tapi aku tetap aktif datang saat ada event-event akbar. Plus aku juga masih ngajar di hari Sabtu-Minggu di SMK Kehutanan dekat rumah. Jadi selama tahun-tahun selanjutnya, aku PNS di Senin-Jumat, dan Guru SMK di hari Sabtu-Minggu.
Sekolah Master di Luar Negeri? Gak dulu, kataku waktu itu...