Ipswich City, adalah kota tetangga Lockyer Valley yang dapat ditempuh dengan perjalanan bis dan kereta kurang lebih 1.5 jam dari UQ Gatton Campus. Sebagai kota tertua kedua di Queensland setelah Brisbane, Ipswich memberikan kesan yang mendalam di hatiku saat menyusuri kotanya yang terkesan gloomy, sepi, tapi sangat artistik dan membuat kita penasaran untuk melihat lebih dalam. Diberi nama Limestone Hills di awal-awal sejarah kotanya, Ipswich menjadi kota penghubung Darling Down dengan South East Queensland, dan sekarang, menjadi penghubungku menjelajahi banyak tempat dengan kereta dari Rosewood Station.
Saat aku menulis catatan ini, hari ini adalah 19 Januari 2025, masih sebulan lagi perkuliahan masuk. Aku berpikir aku mungkin bisa menjelajah Queensland sedikit lagi di tempat yang lebih dekat dan mudah dicapai. Aku begitu sering melewati Ipswich untuk transit pindah kereta, dan pernah juga sekali menyusuri jalanan kota menuju Ipswich Nature Center, tapi aku tidak pernah benar-benar melihat-lihat apa yang ada di kota tetangga ini.
Tiba di Ipswich Station dengan kereta dari Rosewood, aku terkaget-kaget saat menyadari ternyata aku ketiduran dan dua remaja di pojok gerbong seperti khawatir melihatku yang lelap padahal sudah tiba di Ipswich. Tidak sempat mengucapkan say good bye ke mereka berdua aku langsung lari keluar stasiun, kalau engga aku bakal balik ke Rosewood dengan sia-sia haha. Keluar dari stasiun aku menyusuri jalan ke right exit, menuju jalan raya ke Brisbane. Tapi tujuanku bukan jalan raya itu, melainkan menyusuri pinggir Bremer River tepatnya di River Heart Parkland, sebuah taman kota yang dibangun dengan pathway di sisi sungai di bawah jembatan Bremer River Bridge. Sayangnya, area taman kota ini sedang dalam tahap renovasi terutama daearah yang berbatasan langsung dengan sungai. Berjalan sepanjang Sungai Bremer, aku menikmati pemandangan sungai yang nantinya mengalir menjadi satu dengan Brisbane River dari Wivenhoe Dam ini. Konon, Ipswich dulunya didapuk menjadi ibukota provinsi Queensland, tapi karena sungainya terlalu kecil untuk dilewati kapal, maka dipilihlah Brisbane sebagai port capital. Hal yang menarik setiap membicarakan sungai adalah sejarah banjir. Aku membaca papan informasi mengenai banjir, yang lagi-lagi selalu membuat trenyuh hatiku.
Tepat setelah selesai membaca papan informasi tentang banjir itu, gerimis mulai turun. Aku cukup khawatir melihat air yang bergolak dan takut hujan akan lebih deras, akhirnya aku memilih melipir pergi dan kemana lagi ya ini. Setelah melihat google maps dan dekat dengan Turmur Walk di dekat stasiun, aku melihat ada Art Galley of Ipswich yang bisa kukunjungi. Jam menunjukkan pukul 9.30. Masih 30 menit sebelum galeri seni dibuka. Jadi aku berjalan santai sambil mengagumi ketenangan kota Ipswich yang padat namun sedikit sepi. Berdiri tepat di perempatan Brisbane St di seberang gereja Anglican, aku mengagumi bangunan tua di Brisbane St. Hari Minggu, tidak banyak lalu lalang orang, tapi sekumpulan generasi tua sedang asik bercengkrama minum kopi di salah satu kedai. Belok kiri menyusuri jalan besar itu ke arah stasiun, aku menemukan Art Gallery yang dimaksud. Setelah mengambil foto gereja anglican tua namun terlihat megah itu, aku menyebrang menuju D'Arcy Doyle Place.
D'Arcy Doyle Place sepertinya semacam tempat berkumpul pekerja seni dan orang-orang yang sekedar ingin duduk-duduk piknik dengan keluarga atau teman. Di tengah-tengah area sempit tapi rapi itu, ada gazebo yang cukup luas dengan bangku bangku panjang. Tidak jauh dari gazebo itu, terdapat monumen yang menggambarkan kota Ipswich dengan gambar. Berjajar menghadap pusat taman kecil itu, adalah Ipswich Community Gallery, Ipswich Art Workshop, dan Ipswich Art Gallery. Berseberangan dengan area itu adalah gereja anglican yang tadi aku ambil gambar. Mungkin beberapa keluarga biasa berkunjung ke galeri seni setelah ibadah di gereja. Wait, suasana D'Arcy Doyle Place ini mengingatkanku pada Balai Kota Surabaya saat aku masih kecil. Aku ingat paklek ku dulu mengajakku dan sepupuku untuk melihat-lihat pameran lukisan di sana. Tapi jelas dari segi keluasan, Balai Kota Surabaya tentu berkali lipat luasnya.
Memutuskan ke Art Gallery, ternyata belum buka karena masih pukul 9.45. Galeri seni 3 level itu buka pukul 10 AM. Aku menunggu dan duduk-duduk di pinggir kolam kecil yang aku yakin merupakan karya seni juga, karena ada bentuk geometris yang ditata dengan rapi. Mendekati pukul 10, ternyata aku tidak sendiri, ada beberapa pengunjung lainnya; anak-anak dengan bapak ibunya, remaja dan teman-temannya, serta solo traveler kaya aku. Tepat setelah petugas keluar mengeluarkan papan tanda buka dan menata di sana dan di sini, aku langsung masuk dan menyerahkan backpack ku di resepsionis. Aku tanya ada exhibition apa hari ini dan pas banget lagi ada pameran bertajuk "Arriving Slowly" which is tujuan utama dari pameran itu adalah menikmati pameran dengan "slowly" atau kalau aku artikan secara harfiah adalah dengan khidmat. Ada 20 seniman yang mengikuti pameran ini dan kesemuanya sangat luar biasa.
Sebagaimana art gallery pada umumnya, ada area yang tetap sebagai collection room nya dan ada area tematik yang memiliki kurun waktu tertentu. Karena aku pikir ah next time bisa datang lagi buat lihat koleksinya, aku mau fokus menikmati pameran Arriving Slowly ini. Jadi aku masuk ke hall khusus di ujung ruangan dan di sana sudah menunggu 20 karya seni utama yang menjadi nadi dari pameran khusus ini. Aku tiba di lukisan pertama, sebuah kanvas kosong, awalnya, tapi setelah kita lihat dengan "slowly", ada warna lain yang "muncul" atau sedari tadi sudah ada di sana tapi kalau kita hanya melihatnya sambil lalu, tentu ga nampak sejelas itu. Aku kemudian berjalan berkeliling menikmati beberapa karya seni yang mencuri pandangku dan menarik langkahku menujunya. Salah satunya karya seni yang digambar langsung di tembok pameran itu. Saat sedang menikmati gambar yang merupakan "kembaran" dari karya seni yang sama di state lain (antara Melbourne atau Sydney ya, i should check it again), seorang petugas galeri menghampiriku dan menawarkan untuk mengikuti sesi tur dan pengenalan Arriving Slowly yang akan dimulai 10.30 am.
Aku melihat jam tanganku dan yah, aku harus mengejar kereta kembali ke Rosewood pukul 11.30. Jadi aku mengatakan pada petugas yang juga seorang mahasiswi seni itu bahwa aku cuma bisa ikut sejam. Dia bilang ga masalah dan aku pun mengiyakan. Menunggu acara dimulai sambil memandangi karya seni lainnya di ruangan itu.
Tepat pukul 10.30, aku "dijemput" di depan lukisan tempatku berdiri menikmati dengan khidmat, dan diajak duduk di sebuah kursi lipat di depan lukisan yang cukup mirip dengan lukisan pertama, tapi kali ini lebih jelas pemilihan warnanya. Duduk bersamaku, which is kami cuma berdua, adalah seorang wanita muda yang mengenalkan diri sebagai graphic designer yang sedang mencoba menikmati warna dan karya seni di galeri itu. Dalam hati aku merasa kecil. Tapi juga geli sendiri dengan aku yang tiba-tiba mengiyakan ajakan untuk mengikuti "kelas" meditasi di dalam tur Arriving Slowly ini, yang mana aku duduk di antara seorang mahasiswi seni yang senang membuat patung, dan seorang graphic designer yang terlihat sangat profesional dan ahli di bidangnya.
Momen "meditasi" di depan lukisan berisi 3 kanvas itu sangat baru buatku yang sehari-hari hanya berkutat dengan hal hal berbau pertanian. Kalau toh perkara sebuah karya, sejak kecil aku lebih akrab dengan sastra, baik novel maupun puisi. Yah, meskipun ga jago jago banget. Hanya menggemari. Sedangkan pergi ke galeri seni dan mengikuti sebuah "tour", this is my very first time. Sangat menarik karena kita diajak untuk rileks, sebelum menginterpretasi lukisan yang ada di depan kita. Kita diajak menarik nafas dalam dalam, membayangkan diri menjadi pelukisnya, membayangkan emosi apa yang mengalir saat kita menggoreskan kuas di atas kanvas. Semua itu pengalaman baru. Bahkan ada sesi dimana kami berdua harus "mempresentasikan" hasil perenungan kami terhadap lukisan tersebut. Sebuah pengalaman yang luar biasa.
Somehow, perasaan yang kurasakan setelah menikmati karya seni dengan khidmat adalah perasaan yang sama seperti setelah membaca puisi Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo yang indah tapi menyayat hati. Sebuah perasaan tenang, seperti melepaskan beban. Seperti air jernih yang mengalir sangat perlahan di retakan-retakan dinding gua yang dipenuhi lumut. Perasaan yang baru dan menenangkan.
Setelah selesai kami duduk khidmat di depan 2 lukisan, aku melirik jam tanganku dengan gelisah. Waktu menunjukkan pukul 11.10. Aku harus segera bangkit dan pamit undur diri. Galeri seni dan stasiun tidak terlalu jauh. Aku menyebrang di perempatan dengan gereja Anglican yang bangunannya kukagumi di awal cerita ini menuju Turmur Walk untuk sesaat membeli es krim sebagai "hadiah" atas pengalaman baruku hari ini.
Tepat pukul 12 kereteku tiba dan aku langsung pulang ke Gatton dengan hati hampa. Hampa karena meninggalkan tur menyenangkan dan menenangkan itu. Aku mendengar cerita dari karyawan galeri seni, bahwa, banyak pengunjung yang datang hanya untuk melihat selewat. Bahkan ada riset yang menunjukkan bahwa pengunjung rata-rata hanya berdiri di depan satu karya seni maksimal 8 detik saja kemudian beralih ke karya seni lainnya.
Well, pengalaman jalan-jalan dan random bilang iya adalah pengalaman baru yang akan terus kukenang. Tidak masalah untuk mengatakan ya pada kesempatan baru yang datang di depan mata. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan kita hadapi, siapa yang akan kita temui, pengalaman baru apa yang akan kita dapatkan, dan perasaan apa yang akan kita rasakan.
Mungkin itu dulu cerita tentang petualanganku di Ipswich. Yang jelas, setelah dari galeri seni tersebut, aku jadi ketagihan datang ke galeri seni yang lain di Brisbane dan sekitarnya. Cerita lainnya aku ceritain di postingan selanjutnya yaaa. Sampai jumpa di cerita selanjutnya....